Drama Terorisme Netanyahu

Drama Terorisme Netanyahu

BERITAUNGGULAN.COM – Dalam pidatonya di hadapan Kongres Amerika pada 25 Juli 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan situasi terkini sebagai benturan peradaban yang melampaui teori Samuel Huntington antara penentang Israel dan para pendukungnya.

Penentang Israel, terutama para pejuang Palestina, digambarkan sebagai pemuja kematian. Ini merujuk pada keberanian pejuang Palestina yang siap mati melawan tentara Israel. Netanyahu sengaja menghindari istilah “pemberani” untuk menggambarkan mereka, karena kata tersebut memiliki konotasi positif yang tidak ingin ia berikan kepada pihak Palestina.

Sebaliknya, Netanyahu menggambarkan tentara Israel dan sekutunya sebagai “mereka yang memurnikan kehidupan”. Ini memberikan citra positif terhadap tentara Israel, yang menurutnya, berhak mempertahankan diri dari ancaman luar, melawan terorisme.

Netanyahu membangun narasi terorisme untuk melegitimasi tindakan represifnya. Peristiwa 7 Oktober sembilan bulan silam selalu diamplifikasi oleh Israel dan pendukungnya, disebut-sebut sebagai tindakan teror paling mengerikan yang menjadi ancaman kemurnian hidup, karenanya harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Dan anehnya, tindakan ini medapat dukungan dari anggota Kongres Amerika, mereka menyambutnya dengan standing applause meriah.

Meski begitu, dunia melihatnya sebagai kebohongan. Banyak pihak, termasuk warga Israel sendiri, mulai kehilangan kepercayaan kepada Netanyahu. Kata terorisme sebagai isu yang selama ini dimainkan Netanyahu sejak awal perang sepertinya telah kehilangan keampuhannya. Gambaran kengerian teror Hamas yang selalu didengungkan Netanyahu tidak sesuai fakta yang sesungguhnya. Pada kenyataannya tindakan Israel terhadap warga Palestina, khususnya Gaza jauh lebih mengerikan.

Para pendukung perlawanan tidak mau terjebak pada peristiwa 7 Oktober sebagai awal mula, akan tetapi mereka menarik akar masalahnya pada rangkaian 76 tahun yang lalu di mana Israel sebagai entitas baru telah dan terus mengusir paksa warga pribumi, ditambah dengan pembunuhan dan penyiksaan yang tak terelakkan.

Mari melihat sejarah, kata teror beserta sejumlah derivasinya adalah bahasa kekuasaan, dipakai oleh rezim yang berkuasa dan sering kali menjadi alasan bagi munculnya suatu kebijakan, mulai dari yang soft, represif, bahkan hingga yang paling opresif.

Dalam sebuah naskah drama yang ditulis oleh sastrawan Arab asal Indonesia, Ali Ahmad Bakatsir, terdapat sejumlah pengulangan kata teroris (إرهابي). Kata ini dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menggambarkan perlawanan rakyat Indonesia yang memilih jalur angkat senjata dibandingkan jalur diplomasi. Diceritakan dalam drama “Audatul Firdaus,” bahwa perlawanan bangsa Indonesia ketika itu secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua: jalur senjata yang dipimpin Sutan Muhammad Syahrir, dan jalur diplomasi yang dipimpin oleh Soekarno. Sangat mirip dengan perlawanan Palestina saat ini antara Fatah dan Hamas sebagai yang dianggap paling besar –untuk tidak menafikan sejumlah kelompok gerakan lainnya.

Kata teror, sebagaimana di atas, sangat lekat dipakai dalam penjajahan. Dalam konteks Israel, sayangnya, banyaknya korban teror dari rakyat sipil Israel justru dilakukan oleh tentara IDF sendiri, melalui prosedur yang dikenal dengan Hannibal Directive. Dalam prosedur ini, tentara IDF dibolehkan membunuh kawan sesama tentara atau bahkan warga sipil, agar tidak menjadi tawanan pihak luar. Sementara tuduhan pembunuhan terhadap pasukan Hamas telah memenggal kepala 40 orang bayi dan anak, termasuk memperkosa warga sipil, tidak terbukti sama sekali.

Meski mendapatkan sorak-sorai dari sebagian besar anggota kongres Amerika, namun dunia telah terlanjur memandang sang PM berbohong sehingga membuatnya kehilangan kepercayaan, termasuk dari warga negara Israel sendiri yang keluarga mereka tidak kunjung dibebaskan semuanya sejak jadi tawanan Hamas. Mereka inilah juga yang terus berdemonstrasi setiap minggu memenuhi ruas-ruas jalan Tel Aviv dalam jumlah ribuan. Mereka pun menghadang kepala pemerintah mereka untuk bertolak ke Amerika, memintanya untuk berpidato terkait kesepakatan sandra.

Sementara itu, parahnya, di saat Netanyahu menyeret Iran sebagai ancaman bagi Israel dan dunia dengan mempersenjatai proxy-proxynya di Timur Tengah, Israel telah menjadi ancaman itu sendiri bagi kemanusiaan. Ini tampak dari bagaimana jet-jet tempur Israel yang tak ada hentinya membunuh warga sipil di Gaza: mayoritas anak2 dan perempuan, dengan dalih memburu tentara Hamas yang berlindung di balik rakyat sipil. Sudah jamak dikenal luas oleh dunia, bahwa Israel sedang dalam upaya memperluas wilayahnya dalam peta yang tergambar lewat benderanya. Belum lagi, doktrin “goyim” di kalangan seluruh Yahudi Zionis yang disematkan bagi seluruh manusia di luar komunitasnya.

Namun begitu dunia tampak belum mampu menghentikan sang perdana menteri. Putusan ICC (International Criminal Court) yang memvonis Netanyahu sebagai penjahat perang, disusul dengan putusan ICJ (International Court of Justice) tentang status illegal pendudukan Israel, belum juga dapat menghentikan langkahnya. Ia terus melenggang dengan penuh percaya diri.

Satu variabel penting yang tidak bisa dielakkan adalah kuatnya pengaruh lobi AIPAC, yang mampu mengontrol AS terlepas siapapun pemimpinnya. Organisasi itu menjadikan pemimpin-pemimpin negara adi kuasa itu seperti sapi yang berjalan ke arah mana tali yang mengikat lehernya ditarik.

Pasca pidato Netanyahu beberapa hari kemarin, alih-alih meraup dukungan, ia malah mendapatkan tekanan yang semakin kuat. Indikasi ke arah ini terlihat dari penghentian penjualan senjata Inggris dalam kebijakan PM yang baru terpilih. Dan tidak kalah penting dari itu, adalah tekanan dari para pemimpin Amerika, sekutu setia Israel, baik presiden yang masih menjabat maupun tuntutan kedua kandidat presiden AS yang sedang berlaga: Donald Trump dari Partai Republik dan Kamala Harris dari Partai Demokrat, yang sama-sama mendesak PM Israel itu untuk menghentikan perang di Gaza. Sedikitnya ini semua membawa angin segar bagi mereka yang mendambakan kedamaian, terutama rakyat Palestina yang telah lama mendambakan kemerdekaannya.

Di tengah kontestasi untuk meraih suara rakyat, akankah lobi AIPAC masih terlalu kokoh untuk didobrak? Atau jangan-jangan, fakta tentang perubahan arah kebijakan para pemimpin Amerika -dan juga Inggris–  terkait perang di Gaza hanyalah manuver para pemain catur politik global ini? Entahlah. Yang jelas, pidato Netanyahu menandai episode baru dalam serial drama yang sedang berlangsung, yang sama-sama kita tunggu bagaimana ending-nya.

Oleh: Dr. Lalu Turjiman Ahmad

(Penulis adalah Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN SMH Banten)