BERITAUNGGULAN.COM, Jakarta – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), mengimbau perguruan tinggi negeri untuk menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara bijaksana dan adil. Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Ditjen Diktiristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie, dalam sebuah konferensi pers di Gedung D, Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, pada Rabu (15/5).
Tjitjik menekankan bahwa pendidikan tinggi harus bersifat inklusif dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan akademis tinggi. Dalam menetapkan besaran Uang Kuliah Tunggal, pemerintah mengharuskan adanya dua kelompok UKT, yaitu UKT 1 sebesar lima ratus ribu rupiah dan UKT 2 sebesar satu juta rupiah. Proporsi minimum untuk kedua kelompok ini adalah dua puluh persen, guna memastikan bahwa masyarakat kurang mampu namun berprestasi secara akademis tetap bisa mengakses pendidikan tinggi berkualitas.
“Penetapan UKT harus mencakup kelompok UKT 1 dan UKT 2 dengan proporsi minimal dua puluh persen. Ini untuk memastikan akses pendidikan tinggi berkualitas bagi masyarakat yang kurang mampu,” jelas Tjitjik.
Lebih lanjut, Tjitjik menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi dalam menetapkan UKT untuk kelompok 3 dan seterusnya. Namun, ia mengingatkan bahwa batas maksimal Uang Kuliah Tunggal untuk kelompok tertinggi tidak boleh melebihi Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mewajibkan pemerintah untuk menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). SSBOPT adalah acuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang direvisi secara berkala dengan mempertimbangkan pencapaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. SSBOPT menjadi dasar dalam pengalokasian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan penetapan BKT, yang kemudian menjadi dasar penetapan UKT untuk program studi diploma dan sarjana.
Tjitjik mengungkapkan bahwa intervensi pemerintah melalui BOPTN saat ini hanya dapat menutup sekitar tiga puluh persen dari biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat melalui mekanisme pendanaan Uang Kuliah Tunggal dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Tjitjik juga mendorong perguruan tinggi untuk mengoptimalkan pengelolaan aset guna meningkatkan pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) non-UKT dan IPI.
Tjitjik menegaskan bahwa Ditjen Diktiristek terus berkoordinasi dengan pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar Uang Kuliah Tunggal tidak melampaui batas standar pembiayaan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ia juga mengimbau PTN untuk terus mensosialisasikan kebijakan UKT kepada seluruh pemangku kepentingan.