BERITAUNGGULAN.COM, BANDUNG — Suasana sunyi tiba-tiba menyelimuti kawasan Daarut Tauhiid (DT) ketika suara adzan Dzuhur berkumandang dari pengeras suara Masjid Daarut Tauhiid. Tak ada keramaian di unit-unit usaha, tak terdengar derap langkah cepat atau denting keyboard komputer yang biasa menemani jam-jam produktif. Sebaliknya, satu per satu para santri karya (Sankar) ikhwan terlihat melangkah keluar dari kantornya dengan tenang, namun tegas menuju satu arah: masjid.
Ini bukan kejadian luar biasa. Justru sebaliknya ini adalah pemandangan yang menjadi budaya harian di Daarut Tauhiid, lembaga pesantren dan pemberdayaan berbasis wakaf yang didirikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Di sini, saat adzan Dzuhur dan Ashar berkumandang, semua pekerjaan dihentikan. Tak peduli apakah mereka sedang berada di tengah diskusi penting, deadline laporan, atau pelayanan pelanggan. Komando adzan adalah panggilan yang tak bisa ditunda.
Aa Gym sebagai pendiri sekaligus pembina Daarut Tauhiid, menegaskan pentingnya ikatan lelaki dengan masjid. Dalam sebuah tausiyahnya, beliau pernah berkata, “Lelaki dengan masjid seperti ikan dengan air. Jauh dari masjid seperti ikan jauh dari air. Tidak akan pernah tenteram hidupnya. Oleh karena itu, mudah-mudahan dalam situasi apa pun prioritaskan ke masjid.”
Tak hanya menjadi slogan, prinsip ini telah menjelma menjadi kultur kerja. Bagi para Sankar, waktu salat bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghormatan terhadap keberkahan waktu dan tanggung jawab spiritual sebagai hamba Allah. Di atas tanah wakaf yang menjadi fondasi Daarut Tauhiid, langkah-langkah ke masjid menjadi napas yang menghidupkan bukan hanya jiwa, tetapi juga ekosistem kerja yang bernilai ibadah.
Lebih dari sekadar kebiasaan, inilah identitas Daarut Tauhiid. Tempat di mana spiritualitas dan produktivitas tidak berseberangan, melainkan berjalan berdampingan. Masjid bukan pelarian dari kerja, melainkan pusat energi untuk bekerja dengan lebih berkah. (Cahya)
