BERITAUNGGULAN.COM, BOGOR — Presiden terpilih Prabowo Subianto menggulirkan ide pembentukan Koperasi Merah Putih (KMP) di setiap desa sebagai strategi memperkuat ekonomi kerakyatan. Gagasan ini sejatinya patut diapresiasi. Koperasi, bila dikelola dengan benar, adalah pilar penting dalam membangun kemandirian ekonomi di akar rumput.
Namun sejarah pembangunan ekonomi desa mengajarkan satu hal penting: kelembagaan ekonomi tidak akan bertahan hanya dengan dukungan politik sesaat, aliran dana besar, atau desain program dari pusat. Kita telah menyaksikan hal itu lewat perjalanan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang sejak digulirkan dalam kerangka Undang-Undang Desa, masih banyak yang stagnan, bahkan fiktif. Sebagian besar desa belum mampu mengelola BUMDes secara optimal—terutama karena kelemahan kapasitas, minimnya pendampingan, dan pendekatan top-down yang terlalu birokratis.
Wajar jika kemudian publik mempertanyakan: bila BUMDes saja belum berhasil, apakah kehadiran KMP justru tidak akan menambah kompleksitas dan tumpang tindih kelembagaan di desa?
Di lapangan, koperasi akan langsung berhadapan dengan ekosistem yang sudah mapan: para tengkulak. Mereka bukan hanya penyalur hasil panen, tetapi juga pemberi pinjaman darurat, konsultan informal petani, bahkan bagian dari jejaring sosial desa. Tidak mudah menggantikan mereka hanya dengan label program nasional. Apalagi jika koperasi dipersepsikan sebagai instrumen kekuasaan baru, tanpa basis kepercayaan dari warga.
Masalah berikutnya adalah kecenderungan pendekatan seragam dan target waktu instan. Jika koperasi dipaksa lahir dari template yang sama dan dikejar sebagai output proyek, yang terjadi hanyalah koperasi-koperasi kertas—hidup dalam laporan, mati dalam praktik. Setiap desa memiliki konteks sosial, budaya, dan kapasitas yang berbeda. Membangun koperasi harus berangkat dari kebutuhan dan dinamika lokal, bukan target nasional.
Lebih riskan lagi jika pendanaan koperasi berasal dari pinjaman bank milik negara. Ini berarti para pengurus koperasi dituntut untuk segera mencetak laba dan membayar cicilan, padahal mereka belum tentu siap secara manajerial maupun teknis. Alih-alih menjadi solusi ekonomi, KMP justru bisa menjadi beban baru yang membuka peluang penyimpangan, konflik, bahkan mematikan semangat kolektif warga desa.
Dalam pengalaman saya mendampingi masyarakat desa, koperasi yang sukses selalu lahir dari kebutuhan nyata warga—bukan dari struktur yang dipaksakan. Ketika proses pemberdayaan berlangsung menyeluruh, ketika warga merasa butuh dan merasa memiliki, koperasi akan hadir sebagai solusi. Sebaliknya, bila koperasi didirikan lebih dahulu dan baru kemudian dicari-cari fungsinya, ia cenderung menjadi badan yang kering makna dan rapuh secara kelembagaan.
Kita pun memiliki catatan sejarah yang bisa menjadi cermin. Koperasi susu di Jawa Barat atau koperasi sapi perah di Jawa Timur menunjukkan hasil positif karena tumbuh dari kebutuhan riil, dikelola profesional, dan terhubung langsung ke pasar. Koperasi Unit Desa (KUD) pada era Orde Baru juga sempat memainkan peran strategis dalam distribusi sarana produksi dan hasil tani. Namun, intervensi politik yang berlebihan serta lemahnya penguatan SDM membuat banyak KUD kehilangan arah dan mati perlahan.
Namun kita tidak perlu pesimistis. Justru dari pengalaman-pengalaman ini, kita bisa menarik pelajaran berharga. Jika ingin Koperasi Merah Putih benar-benar menjadi warisan pembangunan Prabowo yang berdampak jangka panjang, maka ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan:
- Berangkat dari lokal, bukan pusat. Libatkan warga sejak awal. Koperasi harus tumbuh dari kebutuhan riil dan struktur sosial yang sudah ada.
- Sinergi, bukan duplikasi. Jangan posisikan KMP sebagai pesaing BUMDes. Sebaliknya, jadikan BUMDes sebagai inkubator dan mitra dalam membangun ekosistem ekonomi desa.
- Beri waktu tumbuh. Jangan buru-buru. Kembangkan koperasi secara bertahap, mulai dari unit kecil yang dikelola dengan baik.
- Investasi di SDM. Siapkan kader penggerak yang menguasai manajemen dan bisa merawat kepercayaan publik. Hindari pendekatan politis dalam rekrutmen.
- Hindari logika proyek. Koperasi bukan kegiatan satu-dua tahun. Ia adalah gerakan sosial-ekonomi jangka panjang yang butuh konsistensi dan ketekunan.
Akhirnya, membangun koperasi berarti membangun kepercayaan. Dan kepercayaan tidak bisa dibeli dengan dana proyek atau jargon program. Ia tumbuh dari proses yang sabar, jujur, dan membumi. Jika Prabowo ingin meninggalkan jejak sejarah melalui KMP, maka ia harus memulainya dari dasar—dari warga desa sendiri.
Oleh : Sigit Iko Sugondo (Praktisi pemberdayaan)
