“Menyongsong Kedatangan Tahun Baru 2025”

BERITAUNGGULAN.COM, JAKARTA — Tidak terasa, waktu terus berlalu dan berganti. Saat ini kita akan memasuki pergantian tahun 2024 dengan tahun baru 2025. Sementara usia kita terus bertambah, sisa umur kita makin berkurang. Maka pergantian tahun ini, sebaiknya kita melakukan refleksi, muhasabah.

Berbicara pergantian tahun, maka kita juga bicara tentang amal dan ‘amal. Amal (أمل) adalah cita2, harapan, dan angan2 di masa yang akan datang. Ia sering dipautkan dengan kata ru’yah, yaitu visi atau mimpi yang besar yang akan diraih. Sedangkan ‘amal (عمل) adalah aktifitas, kegiatan, atau misi yang dilakukan untuk mewujudkan visi atau mimpi yang besar itu. Amal tanpa ‘amal hanyalah angan2 yang tak kunjung terwujud. Demikian halnya, ‘amal tanpa amal akan menjadi pekerjaan atau rutinitas yang kurang terarah. Keduanya harus berpadu dengan baik.

Di momentum pergantian tahun, setiap individu perlu merumuskan visinya, setidaknya untuk tahun depan, dan kemudian ditunjang dengan misi yang memadai. Dengan begitu maka umur lebih bermakna adanya.

Dan dalam merumuskan visi misi, kita juga perlu menengok ke belakang. Di sini, menarik untuk kita merenungkan sejenak firman Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Hasyr ayat 18:

“Wahai orang2 yang beriman. Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah tiap diri menengok apa yang pernah ia lakukan untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk menengok masa lalu sebagai bekal di kehidupan yang akan datang, baik selagi di dunia maupun di akhirat. Kata yang dipakai Al-Qur’an untuk perintah melihat masa lalu itu, adalah “wal-tanzhur” yang memiliki pesan yang lebih mendalam dibandingkan jika menggunakan kata “wal-tara” yang secara literal memiliki arti yang sama. Perbedaannya, kata “ra’a-yara” bermakna melihat dengan pandangan sekelejap, tanpa pengamatan mendalam, sehingga melahirkan yang namanya ra’yun: pandangan, pendapat, opini. Sedangkan kata “nazara-yanzuru” yang menjadi akar kata bagi perintah dalam ayat di atas, bermakna melihat dengan seksama, dengan pengamatan mendalam sehingga melahirkan yang namanya nazariyah: teori, pandangan umum, kenyataan yang sulit dibantah.

Maka dalam kaitan ini, kita perlu untuk menatap dengan seksama apa yang sudah kita lakukan sebagai bentuk evaluasi. Di antara kita mungkin banyak yang sudah menorehkan capaian dan prestasi di masa silam. Sebagian lainnya mungkin hanya sedikit. Atau bahkan ada yang baru berencana. Terlepas dari itu, dalam pandangan agama, kita perlu menatap kembali masa lalu kita sebagai bahan introspeksi. Jangan2 hal2 yang menurut kita baik, ternyata tidak memiliki nilai apa2 di sisi Allah SWT. Dan kita termasuk orang yang bangkrut merugi. Na’uzubillah..

Yang terakhir ini pernah disindir oleh Baginda Rasulullah SAW. saat bertanya kepada para Sahabat beliau:

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kalian tau siapa orang yang bangkrut?” Para Sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya harta dan tidak punya kesenangan hidup.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut di antara umatku adalah orang yang datang di Hari Kiamat dengan membawa amal ibadah shalatnya, puasanya, dan zakatnya. Ketika itu ia datang namun sebelumnya (di dunia) ia telah mengumpat si Anu, ia juga membuat tuduhan palsu kepada si Anu, ia juga pernah membunuh si Anu, menumpahkan darah si Anu, menyakiti si Anu. Lalu kebaikan2nya diberikan kepada si Anu dan si Anu. Jika kebaikannya sudah habis sebelum terbayar segala kesalahannya, maka dosa2 orang yang pernah ia sakiti dan zalimi itu akan ditimpakan kepadanya. Lalu ia pun dicampakkan di neraka.” (H.R. Muslim).

Di dalam pergaulan sehari-hari, kita terkadang tanpa sadar telah menyakiti orang lain. Karenanya kita perlu mengingat2 bagaimana interaksi/muamalah kita kepada orang lain, jangan sampai kita mengorbankan orang lain hanya demi kepentingan diri sendiri. Di sini kita dapat memahami, mengapa perintah untuk menengok masa lalu itu diapit dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah, sebelum dan sesudahnya.

Di dalam bahasa Arab, ini dikenal dengan istilah tikrar, yaitu pengulangan kata atau kalimat. Menurut ilmu Balagah, adanya pengulangan ini tidak lepas dari fungsi penegasan atau penguatan pesan.

Imam Qatadah, dikutip dari tafsir at-Tabari, menanggapi ayat ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud “Hari Esok” adalah kehidupan akhirat. Akhirat digambarkan sangat dekat, sedekat datangnya hari esok.

Hal ini mengingatkan kita bahwa hidup kita di dunia sangatlah singkat. Belasan, bahkan puluhan tahun telah berlalu, tetapi masa kecil kita terasa masih seperti baru kemarin. Masih jelas dalam ingatan saat dulu kita terjatuh, lalu bangkit lagi, dan tumbuh semakin kuat. Melewati usia 40 tahun, mulai terjadi penurunan fisik. Berbagai gangguan kesehatan mulai berdatangan. Semua itu menjadi pengingat, agar kita kembali kepada jalan yang diridoi Allah. Maka setelah kita mengevaluasi masa lalu, Allah mempertegas dengan mengingatkan kita sekali lagi untuk bertakwa kepada-Nya (واتقو الله).

Mari memanfaatkan momentum pergantian tahun dengan aktivitas-aktivitas yang positif dan produktif. Meski penanggalan Masehi bukanlah kalender Islam, namun kenyataannya kita pun menggunakannya secara formal dalam kehidupan kita. Seyogyanya, momentum ini tidak dilakukan dengan euforia berlebihan. Alih-alih, momentum ini kita manfaatkan untuk melakukan evaluasi diri, lalu merefleksikannya ke dalam kehidupan sehari-hari kita di masa yang akan datang, demi hari esok yang lebih baik.

Mari menyusun visi untuk tahun depan, yang ditopang dengan misi yang memadai, sedikit demi sedikit yang penting ada peningkatan. Dan penting diingat, sesuai ayat di atas, visi dan misi Islami harus berorientasi pada peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT.

Mengakhiri uraian singkat ini, saya ingin mengutip sabda Rasulullah SAW:

Artinya: “Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang celaka.” (HR Al-Hakim)

Semoga kita bisa terus meningkatkan hal2 yang baik dalam diri kita, menguatkan iman meningkatkan takwa, sebagai bekal terbaik yang kita bawa menuju kehidupan yang kekal dan tidak fana. Amin ya Rabbal alamin. (MS)

Oleh Dr. Lalu Turjiman Ahmad

Penulis adalah dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten