Refleksi Hari Kartini oleh Dosen Unisa Bandung: Kartini Tak Pernah Pergi, Ia Bernama Perawat

Oleh: Dr. Angga Wilandika, S.Kep., Ners., M.Kep
(Dosen dan Perawat di Universitas ‘Aisyiyah Bandung)

BERITAUNGGULAN.COM, BANDUNG — Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh dan bekerja di lingkungan mayoritas perempuan, saya banyak belajar tentang keberanian dalam wujud yang tak selalu lantang. Saya menyaksikan bahwa keberanian bisa tampil lewat ketekunan, lewat ketulusan, bahkan lewat keteguhan hati untuk tetap hadir bagi orang lain, hari demi hari, tanpa pamrih. Hari ini, semangat Kartini hidup di berbagai profesi. Ia hidup di dunia kesehatan, di dunia pendidikan, bahkan di dunia digital dan teknologi.

Kartini bukan hanya sosok yang menulis surat atau memperjuangkan pendidikan di masa lalu, tetapi juga seorang pionir yang memberi inspirasi untuk terus maju meskipun dunia tak selalu ramah.

“Saya mau perempuan mempunyai pendidikan dan kebebasan berpikir, agar mereka menjadi ibu yang cerdas, yang akan mendidik anak-anaknya dengan lebih baik.” (Kartini, dalam surat kepada Abendanon, 1901)

Kartini tidak hanya berbicara tentang emansipasi perempuan dalam konteks sosial dan budaya, tetapi juga dalam konteks kemajuan zaman. Di zaman sekarang, peran perempuan bukan hanya di rumah tangga atau pendidikan, tetapi juga menguasai bidang teknologi, sains, dan inovasi. Dalam dunia kesehatan, perempuan, termasuk para perawat, adalah pilar utama yang tidak hanya merawat fisik, tetapi juga mental, emosional, dan sosial masyarakat. Saya melihat, para perawat di seluruh Indonesia, dari kota besar hingga pelosok, memegang peran yang sangat vital. Mereka bukan hanya merawat pasien, tetapi juga memberi harapan, mengedukasi, dan menjadi pemimpin dalam komunitas mereka.

Di pelosok desa, perawat perempuan sering kali menjadi satu-satunya sumber ilmu dan pelayanan kesehatan. Mereka mengajar, merawat, bahkan memberikan pendampingan kepada masyarakat yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. Seperti yang saya alami sendiri, banyak perempuan yang bekerja keras di luar jam kerja, mengurus keluarga, mendidik anak-anak, dan tetap berjuang untuk mencapai mimpinya.

Salah satu mahasiswa saya, misalnya, datang dari sebuah desa terpencil dan harus menempuh perjalanan berjam-jam setiap minggu hanya untuk mengikuti kuliah.

Ia berkata, “Pak, saya ingin jadi perawat, agar perempuan-perempuan di kampung saya bisa melahirkan tanpa takut.”

Di matanya, saya melihat Kartini hidup dalam bentuk yang lebih modern, lebih membumi, tetapi tak kalah kuat. Dan bagi saya, itu adalah bentuk emansipasi yang sesungguhnya, emansipasi yang tidak hanya berbicara tentang hak perempuan untuk bekerja, tetapi juga tentang hak mereka untuk memberi arti lebih besar pada dunia.

Adakah Bedanya Kartini dan Sosok Perawat?

Kartini adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan pembatasan terhadap hak-hak perempuan pada zamannya. Ia memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, yang pada masa itu dianggap tabu dan tidak sesuai dengan norma sosial. Namun, peran Kartini bukan hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga mencakup pembentukan karakter perempuan yang bebas berpikir. Kartini ingin perempuan menjadi sosok yang bisa mengembangkan dirinya, berpendapat, dan berperan aktif dalam masyarakat. Namun, jika kita berbicara tentang perawat perempuan hari ini, ada sesuatu yang mirip, tetapi juga sangat berbeda.

Perawat modern, seperti halnya Kartini, adalah pahlawan yang memberi cahaya, memberikan harapan, dan tidak pernah lelah dalam mendampingi mereka yang membutuhkan. Tetapi perawat di zaman sekarang harus berhadapan dengan tantangan yang lebih besar: bukan hanya memperjuangkan pendidikan atau kebebasan untuk belajar, tetapi juga berjuang dalam peran ganda—sebagai ibu, sebagai tenaga kesehatan, dan sebagai individu yang juga harus menjaga kesehatan mental dan fisik mereka sendiri. Kartini melawan tradisi dan norma yang membelenggu perempuan, sementara perawat perempuan masa kini berjuang di garis depan pelayanan kesehatan, mengelola tekanan emosional dan fisik yang sangat berat, serta menghadapi ketidakpastian di dunia yang terus berubah.

Di balik setiap senyum pasien yang mereka rawat, ada perjuangan tersembunyi untuk mengatasi beban mental yang datang dengan pekerjaan yang penuh risiko dan tantangan. Kartini ingin perempuan mendapatkan akses kepada pendidikan, sementara perawat masa kini berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang layak atas pekerjaan mulia mereka. Kartini membangun jalan bagi perempuan untuk maju, sedangkan perawat terus menegakkan jalan itu—melalui layanan kesehatan, melalui ketulusan hati, dan melalui pendidikan kesehatan yang mereka bawa ke komunitas mereka. Kartini adalah pionir, sementara perawat perempuan masa kini adalah pemimpin di lapangan yang menggerakkan perubahan sosial dengan cara yang lebih langsung. Mereka tidak hanya merawat fisik pasien, tetapi juga memberikan pendidikan, pemahaman, dan memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.

Di sisi lain, kita tak bisa menutup mata bahwa di dunia yang terus berubah ini, perempuan juga menghadapi tantangan baru. Salah satunya adalah kesehatan mental, yang menjadi isu besar pasca-pandemi. Banyak perempuan, terutama mereka yang bekerja sebagai perawat atau tenaga kesehatan, yang harus menanggung beban ganda, baik di rumah maupun di tempat kerja. Mereka harus menjadi pemimpin, ibu, teman, pendengar, dan pendamping, sehingga tak jarang kesehatan mental mereka sendiri terabaikan. Namun, justru dalam tantangan itulah semangat Kartini kembali mengingatkan kita untuk selalu bertahan.

Seperti kata Kartini: “Tak ada awan di langit yang tetap selamanya. Tak mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita, lahirlah pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia pun demikian.”   Perempuan hari ini bukan hanya berjuang di dunia medis, tetapi juga di dunia teknologi. Mereka adalah para ahli digital, ilmuwan, pengusaha, dan pemimpin yang menggunakan platform digital untuk menyuarakan ide dan memperjuangkan perubahan. Mereka mengembangkan teknologi kesehatan, berinovasi dalam telemedicine, dan membuka jalan baru di era health-tech.

Kartini masa kini bukan hanya menggerakkan perubahan melalui pena, tetapi juga dengan kode dan data. Namun, semangat Kartini bukanlah tentang perempuan yang berdiri sendiri. Emansipasi sejati adalah ketika laki-laki dan perempuan berjalan berdampingan. Saat kita melihat kesetaraan dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam pendidikan. Laki-laki yang tidak hanya menjadi pendukung, tetapi juga mitra sejati dalam setiap langkah perempuan. Kartini bukan hanya berjuang untuk kebebasan perempuan, tetapi juga untuk kebebasan seluruh bangsa Indonesia, termasuk kebebasan untuk laki-laki dan perempuan bekerja bersama, saling mendukung, dan berkontribusi untuk masa depan yang lebih baik.

Saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan sejenak: apakah kita sudah cukup menghargai perjuangan perempuan di sekitar kita? Sudahkah kita membuka ruang bagi mereka untuk berkembang, atau masihkah kita membatasi potensi mereka dengan berbagai sekat? Mari kita berusaha untuk menjadi bagian dari perubahan itu, bukan hanya di Hari Kartini, tetapi setiap hari.

Akhir Kata: Jadilah Kartini, bukan hanya dalam simbol, tetapi dalam tindakan. Bagi perempuan: teruslah melangkah, jangan pernah ragu untuk mengejar impian, karena langit adalah batasnya. Bagi laki-laki: hargailah langkah itu, berdirilah di sampingnya, sebagai mitra yang sejajar, bukan sebagai penghalang. Karena seperti kata Kartini: “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Dan jika kita bisa saling mengangkat, saling mendukung, maka kita semua akan jatuh di antara bintang-bintang, membangun bangsa yang lebih adil, sejahtera, dan penuh harapan.