Signifikansi Kebudayaan Lokal dalam Pengelolaan Air Global

Signifikansi Kebudayaan Lokal dalam Pengelolaan Air Global

BERITAUNGGULAN.COM, Bali – Dalam rangkaian World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali, diskusi dan pameran mengenai Sistem Subak dan Jalur Rempah diadakan untuk menyoroti peran penting budaya dalam pengelolaan air. Diskusi berlangsung di Bali International Convention Centre pada 21 Mei 2024, sedangkan pameran diselenggarakan di Museum Pasifika dari 21 hingga 25 Mei 2024.

Kegiatan ini membawa perspektif budaya dalam menanggapi tema utama WWF, yaitu “air untuk kesejahteraan bersama.” Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menekankan pentingnya dialog lintas disiplin dalam menghadapi tantangan pengelolaan  air saat ini.

Dalam laporan United Nation World Water Development Report 2024 disebutkan bahwa pada tahun 2022, 2,2 miliar orang tidak memiliki akses terhadap air minum. Selain itu, 1,4 miliar orang terdampak kekeringan antara tahun 2002-2021, dan 10% migrasi global antara tahun 1970-2000 disebabkan oleh kekurangan air.

“Sains dan teknologi modern saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Sebagian dari masalah ini justru timbul karena penggunaan sains dan teknologi yang tidak bijak,” ujar Hilmar.

Ia juga menambahkan, “Kita memiliki warisan pengetahuan lokal yang berbasis pada kelestarian dan keberlanjutan. Jika dikombinasikan dengan sains dan teknologi, pengetahuan ini dapat memberikan solusi yang nyata.”

Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu, memberikan sambutan dalam acara tersebut. Percakapan lintas disiplin seperti ini telah difasilitasi oleh UNESCO melalui program Local and Indigenous Knowledge Systems (LINKS). Xing Qu menyambut baik inisiatif Indonesia untuk melanjutkan dialog ini dengan berbagai pemangku kepentingan lokal.

Dalam diskusi tersebut, I Ketut Eriadi Ariana, pengelola Pura Ulun Danau Batur dan pengajar di Universitas Udayana, menjelaskan sejarah dan perkembangan sistem Subak di Bali. Sistem pengelolaan air ini sangat penting bagi masyarakat Bali dan didasarkan pada filosofi Tri Hita Karana, yang mencakup harmoni antara Tuhan (parahyangan), manusia (pawongan), dan lingkungan (palemahan).

Jalur Rempah

Indonesia terletak di jalur rempah dunia, sebuah jalur pelayaran tradisional yang membentang dari kawasan Pasifik di timur hingga pantai timur Afrika di barat. Selama lebih dari seribu tahun, masyarakat di sepanjang jalur ini berinteraksi dan menciptakan warisan pengetahuan yang luar biasa terkait pengelolaan air.

Pameran yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan bekerja sama dengan Museum Pasifika menampilkan narasi Jalur Rempah ini. “Ada warisan pengetahuan yang luar biasa di dalamnya, yang dapat menjadi inspirasi bagi kita hari ini,” kata Hilmar. “Melalui pameran ini, kita dapat melihat betapa pentingnya budaya dalam sistem global kita sejak lama.”