Sigit Iko

Zakat untuk Bangkitkan Desa, Atasi Kemiskinan Ekstrem

BERITAUNGGULAN.COM, BANTEN — Kemiskinan ekstrem adalah wajah paling getir dari ketimpangan. Ia bukan sekadar persoalan kurangnya pendapatan, tetapi kondisi ketika seseorang tak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya—makanan, air bersih, tempat tinggal layak, layanan kesehatan, dan pendidikan dasar. Di Indonesia, kemiskinan ekstrem masih menghantui jutaan warga, dan ironisnya, sebagian besar berada di pedesaan.

Pedesaan Indonesia yang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan, justru menjadi kantong kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah struktur ekonomi pedesaan yang timpang. Petani sebagai aktor utama produksi pangan sering berada dalam posisi yang paling lemah. Lahan sempit, minim akses terhadap permodalan, teknologi, dan pasar membuat mereka tak punya daya tawar. Tak heran, meski bekerja keras sepanjang tahun, banyak petani tetap terjebak dalam siklus kemiskinan turun-temurun.

Upaya pemerintah menghapus kemiskinan ekstrem tentu patut diapresiasi. Namun, program bantuan tunai dan jaminan sosial tak akan cukup jika tak disertai pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Di sinilah lembaga zakat memiliki peran strategis. Dalam Islam, zakat bukan hanya kewajiban individu, tetapi instrumen sosial yang memiliki dimensi transformatif—sebagai jembatan menuju keadilan sosial dan ekonomi.

Zakat sejatinya adalah sistem distribusi kekayaan yang bertujuan membebaskan yang lemah dari keterhimpitan struktural. Sayangnya, selama ini pengelolaan zakat di Indonesia masih cenderung bersifat karitatif dan konsumtif. Padahal, potensi zakat nasional sangat besar. Berdasarkan estimasi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia bisa mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Namun realisasi penghimpunannya masih di bawah 5 persen dari potensi tersebut.

Dalam konteks inilah, inovasi model zakat produktif menjadi sangat penting. Salah satu praktik baik datang dari Lembaga Amil Zakat Harapan Dhuafa (Laz Harfa) di Provinsi Banten. Laz Harfa tidak sekadar menyalurkan bantuan kepada fakir miskin, tetapi membangun ekosistem pemberdayaan petani kecil secara menyeluruh. Melalui pendekatan zakat produktif, mereka merekayasa ulang fungsi produksi pertanian dan memperbaiki ekosistem ekonomi lokal.

Langkah pertama dilakukan dengan memperbaiki kualitas lahan dan mengidentifikasi komoditas unggulan lokal. Para petani kemudian diberikan akses modal kerja dalam bentuk input produksi, bukan uang tunai, agar tepat sasaran. Lalu, mereka dilatih melalui sekolah lapang yang membekali dengan pengetahuan teknis, manajemen tanam, dan strategi pemasaran. Teknologi sederhana seperti mesin panen mini, pompa irigasi, atau alat tanam juga diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi kerja.

Hasilnya cukup mengesankan. Dalam satu musim tanam, produksi gabah meningkat rata-rata 20 persen. Namun, keberhasilan utama bukan hanya pada peningkatan hasil panen, melainkan pada perbaikan struktur distribusi. Laz Harfa turut membangun sistem rantai pasok yang lebih adil dan pendek. Petani didampingi untuk langsung menjual ke pembeli akhir (end buyer) atau mitra koperasi, bukan lagi ke tengkulak yang kerap menekan harga.

Akibatnya, harga jual gabah naik dari rata-rata Rp 4.300/kg menjadi Rp 5.300/kg. Kombinasi antara peningkatan hasil panen dan kenaikan harga ini berdampak signifikan terhadap pendapatan petani. Tak sedikit di antara mereka yang perlahan keluar dari kategori miskin ekstrem. Sebagian bahkan mulai mengakses asuransi tani, menabung untuk pendidikan anak, dan membangun rumah layak huni.

Praktik seperti ini menegaskan bahwa zakat bukan hanya instrumen spiritual, tetapi juga instrumen pembangunan. Zakat produktif berperan sebagai intervensi yang menyeimbangkan ketimpangan struktural dan membangun kemandirian warga. Bila pendekatan ini diterapkan secara luas, bukan tidak mungkin desa akan menjadi poros utama kebangkitan ekonomi nasional.

Untuk itu, diperlukan kebijakan publik yang lebih proaktif dan kolaboratif. Pemerintah bisa menjalin kemitraan strategis dengan lembaga zakat, khususnya dalam mendukung agenda pengurangan kemiskinan ekstrem. Data penerima manfaat bisa diintegrasikan antara DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dengan data mustahik zakat. Program pemberdayaan ekonomi seperti KUR, BLT Desa, dan ketahanan pangan bisa disinergikan dengan program zakat produktif agar tidak tumpang tindih dan lebih berdaya guna.

Selain itu, penguatan kapasitas lembaga amil zakat juga penting dilakukan. Pelatihan manajemen keuangan syariah, audit sosial, transparansi digital, hingga integrasi dengan sistem pertanian presisi dapat mempercepat transformasi lembaga zakat dari sekadar penyalur bantuan menjadi agen pembangunan desa. Zakat pun tak lagi dipandang sebagai pelengkap, tetapi bagian dari arsitektur pembangunan nasional yang strategis.

Lebih dari itu, zakat menawarkan nilai etis yang mendalam dalam pembangunan: bahwa kekayaan bukan untuk ditimbun, tetapi didistribusikan; bahwa kemajuan bukan semata soal angka GDP, tetapi soal martabat manusia. Dalam dunia yang makin terfragmentasi oleh kesenjangan, zakat menjadi seruan spiritual sekaligus aksi sosial untuk membangun peradaban yang lebih adil dan beradab.

Kini saatnya menjadikan zakat sebagai bagian dari strategi nasional pemberdayaan desa. Bukan hanya karena potensi ekonominya besar, tetapi karena zakat adalah jalan yang ditunjukkan agama untuk membangun solidaritas dan keadilan. Dari desa yang berdaya, Indonesia akan tumbuh lebih kuat.

Oleh: Sigit Iko Sugondo (Praktisi Pemberdayaan Masyarakat)